Senin, 30 Juni 2014

Filsafat Bahasa Ludwig Wittgenstein

FILSAFAT BAHASA LUDWIG WITTGENSTEIN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
AL FALSAFA AL LUGHAWIYAH
Oleh:
M. Arifudin  (D02212018)

Dosen Pembimbing :
Dr. H. M. Yunus Abu Bakar, M.Ag

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia pada umumnya menganggap bahasa biasa-bisa saja.
Dengan bahasa seorang filosof menemukan ekspresi atau nama untuk merujuk sebuah konsep. Sebut saja istilah-istilah definisi, proposisi, hipotesis, aksioma, verifikasi, falsifikasi. Pentingnya pemahaman terhadap bahasa inilah yang menggugah Wittgenstein dan filosof aliran filsafat analitis dan atomisme logis lainya mengkritik adanya kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat, terutama yang dilakukan oleh kalangan idealism inggris, seperti Bradley dan Taggart. Wittgenstein melalui dua buah karyanya yang sangat monumental, yaitu Tracatus Logicus Philosophicus dan Philosophical Investigations, mencoba untuk mengurai lebih mendalam tentang pemahaman  bahasa dalam dunia filsafat, yaitu melalui teori gambar (picture theory) dan tata permainan bahasa (language games). Namun yang unik dari pemikiran Wittgenstein yaitu terjadi perubahan pemikiran atau paradigma dalam karyanya, dimana ia tidak lagi puas dengan karyanya yang pertama (Tracatus Logicus Philosophicus) dan kemudian ia kritik dan menyempurnakannya dalam karyanya yang kedua (Philosophical Investigations).

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah riwayat kehidupan Ludwig Wittgenstein ?
2.    Bagimananakah pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang filsafat bahasa ?
3.    Bagaimana kritik terhadap pemikiran Ludwig Wittgenstein ?
4.    Bagaimana Pengaruh Filsafat Wittgenstein terhadap Positivisme?
C.    Tujuan
1.    Mengetahui Riwayat kehidupan Ludwig Wittgenstein.
2.    Mengetahui Pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang filsafat bahasa.
3.    Mengetahui Kritik terhadap pemikiran Ludwig Wittgenstein.
4.    Mengetahui Pengaruh Filsafat Wittgenstein terhadap Positivisme.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat kehidupan Ludwig Wittgenstein
Nama lengkap dari Ludwig Wittgenstein  adalah Ludwig Josef Johann Wittgenstein, ia  dilahirkan di Wina pada tanggal 26 April 1889 dan sebagai  anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Karl Wittgenstein adalah keturunan Yahudi, namun beragama Kristen Protestan. Ia seorang insinyur konstruksi baja, serta konglomerat terkaya  di Austria pada saat itu. Ibunya: Leopoldine Kalmus adalah  anak seorang bankir kota Wina dan beragama Katholik. Leopoldine adalah penganut setia agama Katolik Roma dan Ludwig mengikuti agama ibunya. Sejak kecil Wittgenstein dan saudara-saudarinya dibentuk dalam suasana paternalistik yang keras dan otoriter. Keluarga ini memiliki tradisi religius dan kehidupan intelektual yang positif serta minat yang tinggi pada artistik. Mereka semua memiliki bakat musik. Kedekatannya pada musik ini berpengaruh kuat terhadap pemikiran Ludwig Wittgenstein di kemudian hari. Karya-karyanya memuat banyak kiasan yang diambil dari dunia musik dan karangannya memiliki ciri komposisi yang harmonis, jernih dan padat sebagaimana ciri sebuah komposisi lagu.
Pada saat Perang Dunia I, Wittgenstein pulang ke tanah airnya dan menjadi sukarelawan perang Austria. Dalam situasi seperti Itu, ia masih berkesempatan menulis naskah filsafat . Pada tahun 1918 ia ditawan oleh tentara Italia. Ia berhasiil menyelasaikan sebuah manuskrip  yang diberi judul Logish-Philosophische Abhandlungen  dan dimuat dalam majalah Annalen der Nathurphilosophie. Pada tahun 1921 atas anjuran G. E. Moore dan dilengkapi dengan pengantar dari Russell ditebitkanlah naskah tersebut dengan judul Tractatus Logico Philosophicus. 
Tetapi karena kondisi kesehatan, Wittgenstein akhirnya pindah ke Cambridge dan tinggal di rumah seorang dokter untuk menjalani perawatan intensif. Meski kesehatan tubuhnya makin memburuk akibat kanker yang dideritanya, Wittgenstein tidak menyia-nyiakan waktu yang ada untuk menghabiskan naskah Philosophical Investigations-nya. Pada tanggal 29 april 1951 dia menghembuskan nafas yang terakhir. Kalimat terakhir Wittgenstein sebelum kematiannya adalah “Good! Tell them I’ve had a wonderful life!”
B.    Pemikiran-Pemikiran Ludwig Wittgenstein Tentang Filsafat Bahasa.
Pemikiran-pemikiran Ludwig Wittgenstein sangat luar biasa. Pemikiran filsafat Wittgenstein merupakan karya puncak dari gerakan filsafat analistis, yang dipelopori oleh G.E. Moore. Wittgenstein mengembangkan filsafatnya disebabkan adanya kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat, terutama yang dilakukan oleh kalangan idealism Inggris, seperti Bradley dan Taggart.  Sejalan dengan Moore dan Russell, Wittgenstein juga menyatakan bahwa analitika bahasa merupakan suatu metode yang paling memadai di samping metode-metode lainnya. Filsafat menurut Wittgenstein hanya dapat  sebagai suatu metodologi, yaitu critique of language atau analitika bahasa. Filsafat tidak memiliki objek formal tersendiri melainkan hanya menjelaskan apa yang telah diketahui dengan menggunakan sarana, yaitu bahasa. Melalui filsafat analitika bahasa, Wittgenstein memperkenalkan suatu paradigma baru dalam pemikiran filsafat dengan mengembangkan perspektif epistemologi yang mendasarkan pada analisis logika bahasa.
Wittgenstein telah melahirkan dua karya yang sangat monumental, yaitu Tracatus Logico philosophicus dan Philosophical investigations. Karena karya yang kedua itu agak kontrofersial dengan karya yang pertama, yaitu dengan cara menisbikan pemikiran pada karyanya yang pertama. Hal ini oleh Delfgraauw dianalogkan seperti seorang yang menaiki tangga, dan setelah sampai di atas barulah Beliau memperoleh kebenaran. Berkaitan dengan hal tersebut banyak penulis membedakan pemikiran Wittgenstein itu kedalam dua periode, yaitu periode I (Tracatus Logico philosophicus) dan periode II (Philosophical investigations).
1.    Periode I ( Tractatus Logico Philosophicus)
Tractatus Logico Philosophicus adalah sebuah karya filsafat Wittgenstein yang banyak dipengaruhi oleh gurunya yaitu Russell dan Frege.  Wittgenstein dan Russell bersama-sama mengembangkan suatu pemikiran baru yaitu filsafat analitis yang mendasarkan pada logika dan bahasa yang ideal. Keduanya mengembangkan aliran yang menekankan pada peranan analisis logika yaitu atomisme logis.
Tracatus Logico philosophicus merupakan sebuah naskah yang singkat, padat karena hanya terdiri dari 75 halaman dengan pengantar dari Russell. Sistem penguraian karya filsafat ini sangat khas-unik yaitu ditampilkan dalam bentuk beberapa rangkaian proposisi yang secara sistematis menunjukkan urutan logis serta prioritas logis dari proposisi tersebut. Penguraian proposisi-proposisi dilakukan dengan cara pemberian nomor urut secara desimal. Sesuai dengan prinsip analitika bahasa, proposisi yang diberi nomor dengan angka bulat merupakan pangkal urai sedangkan proposisi yang diberi nomor dengan angka desimal adalah merupakan pengurai.
Beberapa pengertian penting filsafat Wittgenstein yang tertuang dalam karya Tracatus Logico philosophicus antara lain:
a.    Realitas dunia
Salah satu uraiannya yang merupakan unsur yang sangat fundamental bahkan merupakan suatu dasar ontologis Tracatus Logico philosophicus  adalah konsepnya tentang realitas dunia yang dilukiskan melalui bahasa.
Karena itu hakekat dunia menurut Wittgenstein adalah semua hal yang hakekatnya merupakan suatu kasus, dunia adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukan dari benda-benda. Dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta serta apa yang merupkan kemyataan yang sedemikian itu, sebuah fakta adalah merupakan keberadaan suatu peristiwa. Dengan demikian dunia sebagai suatu realitas sebagaimana kita lihat dan kita alami. Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukannya totalitas dari benda-benda. Dunia itu bukanlah terdiri dari benda-benda yang hanya merupakan penjumlahaan atau benda-benda itu bukanlah bahan dunia melainkan obyek-obyek yang merupakan substansi dunia. Yang dimaksud dengan fakta menurut Witgenstein adalah suatu keberadaan peristiwa, bagaimana objek-objek itu terhubungkan satu dengan lainya.
b.    Proposisi
Proporsi ditinjau berdasarkan wujudnya merupakan suatu ungkapan, suatu artikulasi kata-kata , Proposisi merupakan sebuah bentuk pengungkapan realitas empiris atau yang dipersepsi  ke dalam bentuk logis, sehingga bentuk pengungkapan tersebut atau proposisi menggambarkan realitas dunia secara logis. Wittgenstein berkeyakinan bahwa setiap proposisi tersusun atas sejumlah proposisi elementer. Proposisi elementer ini pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan sederhana yang menggambarkan suatu keadaan peristiwa (state of affairs). Karena suatu keadaan peristiwa  terdiri atas sejumlah fakta atomis, maka proposisi elementer sebenarnya menegaskan keadaan suatu fakta atomis. Dalam hal ini realitas dunia diproyeksikan dalam proposisi. Konsekuensinya, jika proposisi elementer benar maka fakta atomik itu berada, tetapi jika proposisi elementer salah maka fakta atomik tidak berada. Karena itu, suatu proposisi elementer tidak bisa sekaligus mengandung di dalamnya benar dan salah, melainkan hanya satu kemungkinan benar atau salah. Wittgenstein menyebut keberadaan fakta atomik ini sebagai positif dan ketidak beradaan fakta atomik sebagai negatif.
Karena proposisi mengungkapkan keadaan peristiwa dan merupakan gambaran logis dari realitas dunia, maka proposisi bukanlah sekedar penggabungan kata-kata. Wittgenstein menganalogikan hal ini dengan perbandingan dalam dunia musik di mana musik itu bukan sekedar penggabungan nada-nada. Proposisi adalah artikulasi (pengungkapan). Hal ini yang membedakan proposisi dengan kalimat. Kalimat adalah sebuah rangkaian gramatis kata-kata dalam bahasa tertentu, entah secara tertulis maupun lisan yang diungkapkan pada waktu dan tempat tertentu. Kalimat lebih menekankan struktur gramatis sedangkan proposisi menekankan kandungan makna yang terungkapkan. Kalimat berbeda dari proposisi karena kalimat lebih memperhatikan bentuk, struktur penggabungan kata sedangkan proposisi lebih memperhatikan konsep, gagasan, ide-ide tanpa mengabaikan struktur penggabungan kata tersebut.
Gabungan dari beberapa fakta atomis membentuk keadaan peristiwa, gabungan beberapa proposisi elementer membentuk proposisi sehingga suatu proposisi menggambarkan suatu keadaan peristiwa. Akhirnya, Totalitas dari proposisi adalah bahasa. Totalitas dari keadaan peristiwa adalah dunia.
c.    Teori gambar
Pemikiran Wittgenstein dalam mengungkapkan realitas dunia terumuskan dalam suatu proposisi-proposisi sehingga dengan demikian terdapat suatu kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Oleh karena proposisi-proposisi itu terungkapkan melalui bahasa maka bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia. Hal ini diungkapkan Wittgenstein dalam “Tractatus” sebagai berikut:
“Sebuah proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan) dunia. Sebuah proposisi itu adalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas)yang kita bayangkan”.
“Proposisi itu adalah sebuah gambaran realitas (kenyataan) dunia, maka jika saya memahami proposisi itu berarti saya memahami keadaan suatu peristiwa secara factual (fakta) yang dihadirkan melalui suatu proposisi tersebut. Demikian juga dengan mudah saya dapat memahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi suatu pengertian yang terkandung di dalamnya.
Struktur logika bahasa yang digunakan Wittgenstein dalam mengungkapkan suatu realitas dimaksudkan untuk mengatasi kekaburan-kekaburan, sehingga dalam memahami realitas dunia manusia hanya akan memberikan suatu keputusan benar atau salah bermakna atau tidak bermakna ungkapan yang menjelaskan dunia.
Menurut Wittgenstein proposisi logika sebenarnya tidak termasuk proposisi sejati, sebab tidak menggambarkan sesuatu. Proposisi-proposisi tersebut tidak mengungkapkan suatu pikiran, namun merupakan suatu kebenaran tautologis belaka dan tidak menggambarkan suatu bentuk peristiwa atau tidak merupakan suatu “picture” dari sesuatu. Namun demikian menurut Wittgenstein proposisi logika tersebut bukan berarti tidak bermakna, melainkan kebenarannya bersifat tautologis.
Konsep Wittgenstein tentang teori gambar yang menjelaskan tentang hubungan antara proposisi yang diungkapkan melalui bahasa yang realitas keberadan suatu peristiwa, selanjutnya akan nampak sikap pandangannya tentang realitas fakta dengan unsur metafisik yang hal itu ditolak oleh Wittgenstein.

d.    Logika bahasa
Menurut Wittgenstein persoalan filsafat timbul karena para filosof terdahulu dalam memecahkan problema-problema logika bahasa, oleh karena itu Wittgenstein mengkritik dengan tajam melalui kalimat “apa yang dapat dikatakan sama sekali dapat dikatakan secara jelas, dan apa yang tak dapat dikatakan maka orang harus diam”.  Karena itu penggunaan bahasa dalam analisis teori-teori filsafat harus mampu mengungkap secara obyektif fakta tentang dunia, dan hal ini harus dilakukan dengan menggunakan bahasa dengan berdasarkan asas-asas logika, sehingga perlu dikembangkan bahasa yang ideal yang memenuhi asas-asas logika. Unsur-unsur logis yang tergambar melalui bahasa terwujudkan dalam suatu proposisi, sehingga totalitas dari proposisi tersebut pada hakekatnya adalah bahasa. Melalui karyanya dimaksudkan sebagai upaya untuk memecahkan kekaburan dalam penggunaan bahasa dalam konsep-konsep filsafat, sebagaimana tercermin dalam teori gambar bahwa realitas dunia dijelaskan melalui bahasa pada hakekatnya merupakan penggambaran dunia yang diletakkan dalam ruang logika. Konsekuensinya struktur-struktur logika bahasa  juga menggambarkan struktur logis dunia.
2.     Periode II (Philosophical Investigations)
 Setelah karyanya Tractatus Logico Philosophicus, wettgeinstein tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929. Pada masa ini ia aktif memberikan kuliah dan ceramah sehingga beberapa kelompok mahasiswa tertarik untuk membukukan karya beliau. Ia juga sedang mempersiapkan secara bertahap karya besarnya yang kedua Philosophical Investigations dengan bantuan beberapa mahasiswanya. Bagian pertama buku tersebut merupakan bagian luas yang diselesaikan sendiri oleh Wittgenstein, sedangkan bagian kedua ditampilkan dengan gaya dan susunan yang berbeda dan diselesaikan oleh dua orang mahasiswanya G. Ascombe dan Rush Rhees. Kedua murid inilah yang kemudian menerbitkan buku tersebut setelah kematian Wittgenstein. Philosophical Investigations yang diterbitkan pada tahun 1953 merupakan karya filsafat yang unik bahkan ditampilkan secara berbeda dengan karya-karya filsafat lainnya termasuk Tractatus. Bagian pertama buku itu terdiri atas sejumlah paragraf dan diberi penomoran 1 sampai 693 yang diuraikan secara deskriptif dan sistematis. Sedangkan bagian kedua diuraikan dengan tanpa memberikan nomor pada setiap paragrafnya. (Kaelan, 2004 : 11)
Dalam karya yang kedua ini menyajikan beberapa pengertian penting filsafat Wittgenstein Ada beberapa topik penting yang dapat dijadikan kerangka pikir untuk mendalami perubahan filosofis dan pemikiran kritis Wittgenstein terhadap karya periode pertamanya.
a.    Bahasa ordinari
 Dalam Philosopical investigations , perhatian utama Wittgenstein tidak lagi dipusatkan pada ikhtiar membangun satu bahasa ideal  atau bahasa logika untuk dijadikan fondasi dalam  berbahasa. Ia kembali  pada bahasa sehari-hari sebagaimana yang dilakukan oleh Moore, yang memuat common sense pada seluruh konteks bahasa  yang digunakan oleh seluruh umat manusia di dunia . Konskuensinya pemakaian suatu istilah atau ungkapan ditentukan oleh penggunaannya dalam bahasa sehari-hari di dalam kehidupan manusia yang beragam dan kompleks.
Philosophical Investigations tidak bertolak dari asumsi ontologis tentang hakikat “realitas dunia fakta dan bahasa”, tetapi menekankan ” refleksi kritis atau penyelidikan atas objek material bahasa”. Menurut Wittgenstein, bahasa sehari-hari telah cukup untuk menjelaskan masalah-masalah dalam filsafat. Anggapan ini didasarkan pada asumsi Wittgenstein tentang makna bahasa. Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat. Makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam kehidupan manusia yang bersifat beraneka ragam. Karena itu Wittgenstein menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu (meaning in use). Hal ini disampaikan Wittgenstein pada paragraf pertama  Philosophical Investigations melalui contoh yang diambil dari pengakuan Agustinus. Dalam contoh tersebut, Wittgenstein menampilkan berbagai unsur yang turut berperanan dalam tindakan berbahasa seseorang. Memahami bahasa berarti turut memperhitungkan berbagai unsur yang melekat pada bahasa yang digunakan.  Namun kelihatannya, upaya untuk memperoleh pemahaman komprehensif tentang bahasa akan menemui kesulitan jika disadari adanya keanekaragaman bentuk, cara dan konteks penggunaan bahasa. Dengan ini pemahaman terhadap bahasa berpeluang menjadi semakin kabur oleh karena memperhitungkan berbagai macam hal yang mempengaruhi tindakan berbahasa.
Menurut Wittgenstein, manusia senantiasa terlibat dalam bahasa dan dalam penggunaan bahasa tersebut kendatipun beranekaragam tetap memiliki aturan tata bahasa tertentu. Karena itu penyelidikan terhadap penggunaan bahasa dapat dianalisis berdasarkan aturan tata bahasa tersebut. Wittgenstein menyebut penyelidikan semacam ini sebagai sebuah penyelidikan gramatikal. Ia menjelaskan bahwa penyelidikan gramatikal merupakan sebuah klarifikasi gramatikal terhadap penggunaan bahasa dengan intensi untuk memperlihatkan adanya suatu indikasi yang berlaku secara umum. Indikasi ini dapat dipandang sebagai sebuah kemiripan dari berbagai macam ragam penggunaan gramatis bahasa
b.    Permainan bahasa
Permainan bahasa merupakan konsep yang fundamental dalam Philosophical Investigation, seperti halnya teori gambar dalam Tractatus Logicus Philosophicus. Dalam upaya membuka kabut kesalahpahaman bahasa dalam filsafat, Wittgenstein berkeyakinan bahwa penyelidikan filosofis mesti dihantar pada konteks penggunaan bahasa dalam kalimat dan dalam hubungan antara kalimat itu dengan tindakan bahasa tertentu.
Wittgenstein mengatakan bahwa permainan bahasa bersifat unik, berbeda-beda dan tidak tercampurbaurkan dengan sendirinya memungkiri adanya suatu pola umum yang dapat menjembatani beberapa permainan bahsa tertentu. Dalam tataran praktis kita menemukan adanya penggunaan kata atau kalimat yang sama kendatipun untuk maksud dan konteks yang berbeda-beda. Dalam hal ini Witttgenstein berbicara tentang adanya kemiripan keluarga (family resemblance). Ia mengatakan: saya kira tidak ada ungkapan yang lebih sesuai untuk megungkapkan kesamaan ini selain aneka kemiripan keluarga. Aneka kemiripan di antara anggota keluarga itu terlihat pada bentuk, penampakan, warna mata, sikap, temperamennya dan lain sebagainya. Walaupun nampaknya simpang siur namun terletak dalam jalur yang sama dan hal ini sebagai bentuk permainan bahasa dalam sebuah keluarga.
Terdapat beberapa pokok pengertian yang dapat diambil dari pemikiran Wittgenstein sebagai berikut: Pertama, ada banyak permainan bahasa akan tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan bahasa tersebut. Esensi setiap permainan bahasa pada prinsipnya berbeda satu dengan lainnya tergantung pada konteks penggunaannya. Namun demikian di antara permainan-permainan ini dikenal adanya suatu kemiripan.
Kedua, karena permainan bahasa ini tidak memiliki satu hakikat yang sama, maka timbul kesulitan dalam hal menentukan batas-batas permainan dengan secara tepat mengenai permainan tersebut. Kita hanya dapat mengetahui kemiripan bukannya kesamaan dari berbagai permainan bahasa karena batas-batasnya.
Ketiga, meskipun orang tidak tahu persis sebuah permainan bahasa, namun dapat diketahui apa yang dapat dibuat dengan sebuah permainan itu. Permainan memang sebuah konsep yang sangat halus dan sulit untuk didefinisikan, sehingga sulit untuk dijelaskan dengan tuntas tentang permainan tersebut. Mengingat hal tersebut maka yang dapat dilakukan adalah memberikan deskripsi atau contoh-contoh. Dengan demikian deskripsi dan contoh-contoh tersebut akan membantu dalam pemaknaan suatu bahasa.
C.    Kritik terhadap Filsafat Ludwig Wittgenstein
Karya filsafat Wittgenstein memang cukup unik, padat dan terkesan sulit untuk dipahami isinya.  Miller menyatakan bahwa konsep Wittgenstein sebenarnya mengandung suatu paradox, karena suatu pernyataan konsep teori gambar tersebut menolak dengan tegas proposisi metafisis yang tidak menggambarkan dunia empiris. Dalam Tractatus dijelaskan bahwa hakikat bahasa merupakan gambaran realitas dunia, sehingga struktur logis bahasa menggambarkan struktur logis realitas dunia. Ungkapan Ketuhanan dan etika diistilahkan Wittgenstein dengan das mystiche (mistik) dianggap tidak memiliki makna. Pada akhir tesis Tractatus, Wittgenstein menyatakan bahwa memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan, yang melampui batas-batas bahasa, yang meliputi subjek, kematian, Allah dan bahasa sendiri. Bahasa adalah suatu gambaran dunia oleh karena itu subyek yang menggunakan bahasa tidak mungkin mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri. Manusia juga tidak mungkin berbicara tentang kematian, karena kematian dapat digolongkan ke dalam kejadian-kejadian lain di dunia. Disini dimaksudkan bahwa kematian termasuk batas dunia sehingga tidak dapat dimasukkan sebagai unsur dunia. Demikian juga dengan Allah, hanya dipandang sebagaisebagai sesuatu didalam dunia. Mengingat Allah tidak mungkin menyatakan diri di dalam dunia. Menurut Witgenstein tidak pernah sesuatu kejadian dalam dunia karena campur tanggan Allah, sebab jika demikian maka Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia.
Uraian filsafat Wittgenstain pada periode pertama memang mendapat perhatian dan reaksi yang keras dari kalangan filsuf idealisme, karena uraian metafisisnya terutama ungkapan tentang Tuhan (Allah). Menurut beliau, proposisi yang diungkap melalui kalimat yang berhubungan dengan ungkapan metafisis, terutama tentang Allah itu samasekali tidak bermakna karena tidak mengungkap kapanpun.
Dalam buku keduanya Beliau mengakui kelemahan Tractatus yang mengembangkan suatu bahasa ideal dalam struktur logis serta mampu menggambarkan fakta empiris, menjadi doktrin Moore yang mendasarkan pada bahasa sehari-hari. Mengingat dalam Philosophical Investigation, ia menyatakan bahwa seseorang akan mencapai kepada suatu titik bahwa ia menghadapi bahasa yang tidak bermakna yang diterjemahkan menjadi suatu bentuk peraturan yang bersifat beraneka ragam dari satu permainan bahsa. Melalui karya keduannya ini, Beliau memelopori filsafat nalaistis yang mendasarkan pada filsafat bahasa biasa. Filsafat analistis menyesuaiakan diri dengan pandangan baru yang menekankan bahwa bahasa memiliki berbagai macam fungsi dalam kehidupan manusia, sehingga penggunaan bahasa harus memenuhi aturan penggunaan masing-masing. Karya terakhir Wittgenstein mencoba menjelaskan bahwa logika bahasa metafisis bukan suatu kesalahan namun merupakan salah satu model permainan bahasa dalam kehidupan manusia.
Kalangan Linguis juga mengkritiknya karya Wittgenstein. Menurut mereka deskripsi filsafat Wittgenstein tidak mengangkat hakikat dan sifat-sifat dari teori bahasa. Tampaknya Wittgenstein memang tidak menekankan pada satuan gramatikal dalam ilmu bahasa, filsafat yang dikembangkannya bersifat konseptual yang bertujuan untuk mengembangkan suatu pengetahuan konseptual juga. Berdasarkan analisis metode filsafat yang dikembangkan oleh Wittgenstein, metode itu hanya terbatas kepada bahasa sehingga filsafat analistis yang dikembangkanya hanya tinggal bahasa yang tidak menyentuh realitas dunia maupun tatanan kebenaran tertentu. Metode yang dikembangakn beliau menunjukkan bahwa disatu sisi untuk mencapai tingkatan kebeneran konsepfilosofis dalam kenyataannya tidak menyentuh esensi konsep filosofis, sehingga yang tampak adalah analisis melalui bahasa. Jelas disini bahwa kelemahan Wittgenstein yang tidak membanggakan metode antar disiplin terutama dengan disiplin terutama dengan disiplin linguistik inilah, yang membuat analisisis tentang bahasa hanya bersifat sistematis.
D.    Pengaruh Filsafat Wittgenstein terhadap Positivisme
Positivisme adalah empirisme yang membatasi dirinya pada panca indera. Positivisme mengembangkan klaim empirisme tentang pengetahuan secara ekstrim dengan menyatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu berdasarkan fakta keras (terukur dan teramati), ilmu-ilmu positif. Menurut positivisme, filsafat bertugas menemukan prinsip ilmu pengetahuan sebagai pemandu prilaku umat manusia sekaligus mengatur kehidupan sosial masyarakat. Hal ini berarti masyarakat dipandang layaknya alam yang terpisah dari subyek peneliti dan bekerja dengan hukum-hukum determinisme.
Problem yang terdapat dalam paham ini adalah bagaimana menemukan suatu sistem istilah dan konsep yang menyeluruh dan mencakup semua ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan tersebut memiliki dasaar yang kooh dan menyeluruh. Hal inilah yang mendorong kalangan positivisme mengkaji dan mengembangkan analisis bahasa dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Filsafat tidak akan mampu memecahkan problema-problema dalam ilmu pengetahuan, kecuali memberikan penjelasan yang pantas dan logis. Menurut Titus paham ini berkeyakinan bahwa tugas filsafat adalah melakukan suatu analisis terhadap bahasa, terutama dalam hubungannya dalam  berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian menurut paham positivisme analisis bahasa terhadap ilmu pengetahuan menjadi masalah sentral dalam sistem pengetahuan.
 
BAB III
KESIPULAN

Karya filsafati dari seorang filosof tidak lepas dari perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Begitu juga halnya dengan filosof besar abad XX Ludwig Wittgenstein. Nama lengkapnya adalah Ludwig Josef Johann Wittgenstein, ia  dilahirkan di Wina pada tanggal 26 April 1889 dan sebagai  anak bungsu dari delapan bersaudara.
Pemikiran filsafat Wittgenstein merupakan karya puncak dari gerakan filsafat analistis, yang dipelopori oleh G.E. Moore. Wittgenstein mengembangkan filsafatnya disebabkan adanya kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat, terutama yang dilakukan oleh kalangan idealism Inggris, Wittgenstein telah melahirkan dua karya yang sangat monumental, yaitu Tracatus Logico philosophicus dan Philosophical investigations.
Karya filsafat Wittgenstein memang cukup unik, padat dan terkesan sulit untuk dipahami isinya. Miller menyatakan bahwa konsep Wittgenstein sebenarnya mengandung suatu paradox, karena suatu pernyataan konsep teori gambar tersebut menolak dengan tegas proposisi metafisis yang tidak menggambarkan dunia empiris. Dalam Tractatus dijelaskan bahwa hakikat bahasa merupakan gambaran realitas dunia, sehingga struktur logis bahasa menggambarkan struktur logis realitas dunia. Ungkapan Ketuhanan dan etika diistilahkan Wittgenstein dengan das mystiche (mistik) dianggap tidak memiliki makna. Pada akhir tesis Tractatus, Wittgenstein menyatakan bahwa memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan, yang melampui batas-batas bahasa, yang meliputi subjek, kematian, Allah dan bahasa sendiri.
Namun yang unik dari pemikiran Wittgenstein yaitu terjadi perubahan pemikiran atau paradigma dalam karyanya, dimana ia tidak lagi puas dengan karyanya yang pertama (Tracatus Logicus Philosophicus) dan kemudian ia kritik dan menyempurnakannya dalam karyanya yang kedua (Philosophical Investigations).

DAFTAR PESTAKA
Prof. Kaelan,  Filsafat Bahasa, (2002) Yogyakarta: Paradigma.
Asep ahmad hidayat,  filsafat bahasa mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda, (2009). Bandung: PT remaja rosdakarya.
Prof. Chaedar Alwasiah, Filsafat Bahasa Dan Pendidikan (2010). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
John B. Thompson, Filsafat Bahasa dan Hermeneutik (2005). Surabaya: Visi Humanika.
Kaelan. Filsafat analisistis Menurut Ludwig Wittgenstain (2004). Yogyakarta: Paradigma.
http://victornovianto.blogspot.com/2010/12/memahami-pemikiran-ludwig-wittgenstein.html. Diakses 16 juni 2014.



1 komentar:

  1. Logika sederhana dari Wittgenstein berbentuk p dan ~p yang disebut kontradiksi p : Katakan dengan Jelas, ~p : Tidak dapat mengatakan dengan jelas. Coba rakit jadi silogisme berbentuk barisan. Pastilah jadi barisan denyut on, off, on, off, ...dst. Coba pelajari implikasi jika off maka off bernilai on pada titik input O(0,0) = O(policy,privacy)

    BalasHapus